Perjalanan dan
perjuangan panjang upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat desa
umumnya dan tingkat kesejahteraan perangkat desa khususnya. Bukanlah sesuatu
yang berlebihan manakala Perangkat Desa seluruh Indonesia menuntut pemerintah
agar lebih memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat desa, karena penulis
juga adalah pamong desa, mungkin dalam kesempatan tulisan ini berkisar tentang
apa yang menjadi harapan kami selaku perangkat desa.
Kalau
kita mau jujur memang SDM perangkat Desa rata-rata masih dibawah harapan, namun
mari sama-sama kita evaluasi kenapa kebanyakan perangkat desa kondisinya
demikian, seiring perjalanan waktu dan pola sistem pemerintahan yang ada di
indonesia sangatlah memungkinkan sumber daya manusia atau kwalitas perangkat
desa sangatlah rendah untuk tidak saling menyalahkan namum sebagai gambaran
sebenarnya siapa atau mengapa kondisi tersebut bisa terjadi.
A. Sebelum
Repormasi Birokrasi di gulirkan (Dibawah tahun 2000 an)
a.1.
Pengangkatan Perangkat Desa kebanyakan
berdasarkan faktor turunan atau kedekatan Kepala Desa tanpa memperhatikan
kemampuan atau kwalitas dari calon perangkat desa yang akan diangkat, dalam hal
ini Kepala Desa benar-benar memanfaatkan hak prerogratifnya dalam hal
pengangkatan perangkat desa. Sehingga tak jarang terjadi anak atau saudara
dekat dari kepala desa dan atau perangkat desa yang akan pensiun digantikan
oleh anak dan atau saudaranya.
Kenapa hal ini bisa terjadi, memang selain sistem kekerabatan yang cukup
kuat, struktur organisasi pemerintahan desa yang terbentuk ternyata tak perlu
membutuhkan kemampuan dari perangkat desa yang ada kecuali, Juru Tulis.
Selama masyarakat dapat menerima
dan sang perangkat desa taat dan patuh pada sang kepala desa maka semua dapat
berjalan dengan baik.
Pada masanya hanya Kepala Desa dan
Juru Tulis yang sangat berperan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan
terutama dalam kegiatan administrasi dan
hubungannya dengan pemerintah yang lebih tinggi yakni Kecamatan.
a.2. Sistem penyelenggaraan pemerintahan yang
masih bersifat tertutup dimana perangkat desa selain juru tulis sama sekali tak
mempunyai informasi atau hubungan langsung maupun tak langsung ke Pemerintahan
di kecamatan, semua tugas perbantuan dan lainnya sepenuhnya di pegang oleh
kepala desa dan jurutulis. Sehingga perangkat desa lainnya jelas tidak paham
perihal penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat formal atau birokrasi
pemerintahan yang seharusnya dijalankan.
a.3. Adanya upaya-upaya baik dari kepala desa,
juru tulis dan pihak-pihak kecamatan yang memang sengaja tidak menjelaskan dan
menginformasikan sesuatu yang dianggap tak perlu, sampai-sampai dalam hal
pemberian uang kepada perangkat desa ada istilah UANG KA DEUDEUH (uang
kasihan/pemberian) dari kepala desa.
Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah mungkin
anggaran yang diterima oleh pemerintah kepada kepala desa (mungkin waktu itu
atau pada jamannya nilainya sangat kecil) hanya bersifat uang kadeudeuh, terus
bagaimana bentuk pertanggungjawabannya kalau pemberiannya hanya bersifat uang
kadeudeuh.
a.4. Bentuk pembinaan hanya bersifat semu,
memang katanya ketika akan dilakukan pembinaan semua buku yang ada dibawa,
dibuntel pakai kain (taplak meja) saya teringat akan tukang jual buku keliling
yang menggendong berbagai jenis buku menggunakan kain berwarna putih kecoklat
coklatan. Dengan lobi dan ada sedikit transaksional kegiatan pebinaan pun
berjalan lancar, tanpa ada tindak lanjutnya dari hasil temuan pembinaan
terebut. (Ketika saya mulai masuk desa (pamong) puluhan bahkan ratusan jenis
buku model kosong tanpa ada isian)
a.5. Kegiatan dan laporan pertanggungjawaban
pun, ternyata hanya bersifat trasasksional dan lobi-lobi, tak satupun kami
temukan arsip SPJ atau bentuk Laporan bertanggung jawaban (ya kembali ada
peluang bagi juru tulis yang saat itu sangat berperan dalam hal penggelolaan
dan penggunaan anggaran untuk “KONGKON” minta tolong dibuatkan SPJ kepada pihak
Kecamatan atau pihak lainnya)
Yang
sangat memprihatinkan adalah selain menjadi perangkat desa atau pamong desa ada
istilah yang kuat melekat sampai saat ini PAMONG dapat di artikan juga
PANGMOPOKAN.
Pamongpokan
dalam artian selalu ikut berpartisipasi pada kegiatan yang ada didesa dengan
ikut pula menggunakan materi demi lancarnya kegiatan dimaksud. Memang sudah
menjadi tradisi namun kalau kita hitung-hitung wah...sangat memprihatinkan.
Kita
misalkan upah yang diterima oleh pamong dari tanah bengkok apabila diuangkan
dalam satu tahun mungkin kisaran 2.5 juta s.d 4 juta dan kalo dirata-rata
penghasilan perangkat desa dari tanah bengkok dan lainnya paling-paling
berkisar Rp. 250.000 sd 350.000 tiap-tiap bulan. Coba bayangkan sangat jauh
dari UMR dan sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dan
perlu kita ketahui bersama dan sekaligus kita kasihani bersama, bahwa dengan
penghasilan yang sangat minim tersebut sudah menjadi tradisi (pamongpokan)
bahwa pada setiap kegiatan yang ada di desa terutama kegiatan pembangunan,
ketika masyarakat berswadaya tenaga maka perangkat desa harus menyediakan makan
bagi warga yang melaksanakan jiwa atau kerja bakti, sedangkan dalam satu tahun
bisa terjadi kegiatan jiwa sebanyak 20 kali..coba hitung kalau satu kegiatan
membutuhkan biaya untuk makan 100 ribu sd. 150 ribu, maka setahun pengeluaran
untu itu antara Rp.1.200.000 sd Rp. 2.500.000,- bandingkan dengan penghasilan
perangkat desa diatas.... pasti pusing kan.
Tapi
bersyukurlah perangkat desa dimanapun berada, ternyata sampai saat ini semua
dapat berjalan, semoga pengabdian dan sumbangsihnya kita dapat dicatat oleh
ALLAH SWT menjadikan pahala dan menjadi bekal untuk hidup kekal dikemudian
hari.
Dan
marilah kita bersyukur dan berdoa semoga UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
yang telah di sahkan. Dapat memberikan kehidupan baru dan kesejahteraan baru
bagi seluruh perangkat desa yang ada diwilayah Negara Kesatuan Republik
indonesia.
Bersambung
Penulis
: Triyadi Susianto
No comments:
Post a Comment