Disini... Di Desa. Kita Hidup, Berharap dan Mengabdi

Tuesday, 2 September 2014

SELALU SAJA DAN PERANGKAT DESA



SELALU SAJA SANG PAMONG DESA

Pemerintah sebagai penyelenggara  pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung prinsip  kesatuan  yang dibentuk dalam rangka mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah panji Pemerintah Republik dan bukan monarki (Susetio, 2007). Bentuk pemerintahan secara hierarki mempunyai beban pertanggungjawaban yang sama terhadap amanat yang telah digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah otonom maupun Pemerintah Desa.

Sebelum disahkan dan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa, Keberadaan Desa telah diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang di dalamnya terdapat subtansi tentang kedudukan dan kewenangan Pemerintah Desa. Peraturan perundangundangan tersebut, salah satunya dapat diartikan sebagai bentuk pengakuan pada Pemerintah Desa yang merupakan ujung tombak pemerintahan Republik Indonesia.
Pemerintah Desa dalam Peraturan Pemerintah No. 72/2005 yang mengatur khusus tentang Desa, menyebutkan bahwa unsur penyelenggara Pemerintah Desa dipegang oleh Perangkat Desa dan dikepalai oleh Kepala Desa.
Perangkat Desa secara tugas, kewenangan dan tanggung jawabanya sangat jauh berbeda dengan Pegawai atau Pekerja, bahwa perangkat desa  identik dengan sebuatan ‘PAMONG DESA” sebuatan bagi perangkat Desa yang di wilayah Pulau Jawa adalah orang yang menangi pemerintahan di Desa (wikipedia indonesia)
Sebutan pamong ini sudah sangat melekat pada setiap perangkat desa, sebutan ini lah yang sulit dilepaskan dari baju pengabdian perangkat desa yang ada diseluruh indonesia, dan apabila kita telaah kondisi geografis, penyebaran penduduk serta luas wilayah kepulaun maka kondisi sosial budaya masyarakatpun jelas sangat berbeda pada desa yang satu dengan desa yang lain.
Pamong Desa merupakan sebuah pengabdian mulia bagi seseorang mengingat selain melaksanakan dan menyelenggarakan roda pemerintahan melalui tanggung jawab yang menjadi tufoksinya dibawah kementrian dalam negri, pamong desa harus mampu dan bisa melaksanakan seusai ketentuan dan aturan yang mengikatnya namun disisi lain PAMONG DESA pun diharuskan mampu dan tanggap menjalankan pengabdiannya dalam melayani masyarakat di semua sisi kehidupan masyarakat desa, perlu kita sadari dan pahami bersama memang walau telah merdeka hampir 70 tahun sampai detik ini masih banyak rakyat indonesia yang masih belum mampu dan bisa mengurus dirinya dendiri, sehingga pengabdian seorang PAMONG DESA memang sangat penting dan berperan pada masyarakat Desa. Peka atas kondisi yang ada pada masyarakat, serta tanggap dalam bertindak. Serta selalu ada dan sedia ketika masyarakat membutuhkannya.
Tak ada batasan dan jam kerja mutlak yang dimiliki seorang pamong desa, full 24 jam tak ada batasan siang pagi atau malam, selalu siap ketika sebuah pengabdian memang harus dibuktikan. Sulit memang kalau kita hayati namun akan sangat mudah manakala ketulusan dan keiklasan telah menyatu dalam dirinya.

Berkaitan denga UU Nomor 32 Tahun 2004 kemudian muncul PP No. 72 Tahun 2005 Untuk dapat menjalankan amanatnya dengan baik, Pemerintah Desa mutlak harus didukung penuh oleh sebuah perangkat sistem baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun peraturan perundang-undangan sebagai produk keluaran pemerintah yang mengatur penyelenggaraan Pemerintahan bila  dicermati, banyak terdapat aturan-aturan yang menghambat Perangkat Desa dalam mengemban tugasnya. Hambatan tersebut berbentuk diskriminasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Desa. Beberapa bentuk diskriminasi ini tercermin dalam klausul pasal mengenai pembiayaan pemerintah desa yang bukan bersumber dari alokasi keuangan negara melainkan dari pendapatan asli desa (PP 72/2005 pasal 68). Selain itu tidak adanya pasal yang menjelaskan tentang kepastian status kepegawaian perangkat desa. Keanehan lain muncul ketika pasal 103 PP No.72/2005 memberi peluang Sekretaris Desa untuk diangkat menjadi Pegawai negeri Sipil (PNS), tetapi tidak dengan Perangkat Desa yang lain.
Peraturan perundang-undangan yang menimbulkan perspektif diskriminasi tersebut berpotensi untuk mengganjal kemajuan Pemerintah Desa di dalam mengelola pemerintahannya. Status kepegawaian yang tidak jelas misalnya, dapat mengakibatkan munculnya rentetan masalah. Sebagai abdi negara, perangkat Desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara. Sebagai abdi masyarakat,
Perangkat Desa bertugas melayani masyarakat 24 jam, mulai pelayanan administratif hingga pelayanan sosial (mengurus kematian, hajatan, orang sakit, konflik antarwarga, dan sebagainya). Birokrat negara, baik pejabat administratif,  Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal. Status perangkat Desa bukanlah PNS, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional (dari penduduk Desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syara
Kepala Desa dipilih langsung oleh warga Desa yang telak memiliki hak pilih, sedangkan Perangkat Desa lainnya (seperti sekdes, kaur, kadus) merupakan hak preogratif Kepala Desa Terpilih
Memang Perangkat Desa memperoleh pembekalan awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas administrasi oleh pihak Kecamatan yang dikoordinasi oleh Bupati atau Walikota setempat, tetapi setelah itu tidak memperoleh diklat teknis. Terkadang sebagian Perangkat Desa memperoleh diklat teknis (misalnya administrasi, perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu.
Disebabkan miskinnya pembinaan, maka kapasitas (pengetahuan, wawasan dan keterampilan) perangkat Desa sangat terbatas. Padahal faktor pengetahuan dan pemahaman akan job proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari kinerja (Kosasoh dan Budiani, 2007). Akibatnya tingkat kualitas pelayanan Pemerintah Desa yang merupakan pelaksana langsung dan bersentuhan langsung dengan
masyarakat menjadi minim. Kinerja perangkat Desa yang sangat terbatas juga berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka karena ketidakjelasan sistem penggajian (remunerasi) yang didesain pemerintah (Eko, 2006). Ketidakjelasan sistem penggajian ini melahirkan berbagai anak masalah seperti kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa  Pasal 27 ayat (1) PP No. 72/2005 hanya disebutkan bahwa penghasilan dan
tunjangan tiap bulan bagi kepala desa dan perangkat desa diberikan sesuai kemampuan keuangan desa. Padahal, sumber utama penghasilan kepala desa dan perangkat desa sebagian besar diperoleh dari pengelolaan tanah kas desa (tanah bengkok). Hal ini tentunya cukup merisaukan bagi kepala desa dan perangkat desa sebab akan timbul kesenjangan, Persoalan mengenai kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa  sebagai implikasi dari lahirnya Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Peraturan ini dianggap telah merugikan Kepala Desa dan Perangkat Desa terkait dengan sistem penggajian yang diterapkan Pemerintah

Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow meletakkan kebutuhan fisiologis di urutan pertama tingkat kebutuhan yang dibutuhkan oleh seseorang dan mengasumsikan bahwa orang akan berusaha memenuhi kebutuhan secara fisiologis terlebih dahulu. Pemenuhan kebutuhan bersifat fisik ini sangat berkaitan erat dengan pemberian kompensasi yang sesuai dan wajar kepada pekerja untuk dapat memenuhi kesejahteraan hidup (Justicia, 2001). Terpenuhinya kesejahteraan
Beban biaya hidup yang dirasakan oleh Perangkat Desa khususnya di daerah Jawa harus ditambah dengan tingginya biaya sosial yang juga harus ditanggung. Masyarakat Jawa yang kental akan sistem kolektivisme mempunyai tradisi nyumbang disetiap acara sosial yang diadakan di lingkungan masyarakatDesa, seperti acara pernikahan, acara kematian, sampai dengan acara khitanan
Tradisi nyumbang merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap saudara, tetangga, rekan kerja, atau anggota masyarakat lainnya yang sedang memiliki hajatan (perayaan). Bentuk dari nyumbang di sini dapat berupa materi (uang atau barang kebutuhan pokok) dan nonmateri (tenaga dan pikiran). Biasanya disesuaikan dengan jenis undangan dan hajatan yang sedang berlangsung (Prasetyo, 2007). Konsekuensi bagi Perangkat Desa sebagai Pamong Desa yang sering diundang dalam acara kemasyarakatan adalah memperpanjang daftar pengeluaran bulanan yang harus disisihkan dari gaji. Tentu saja hal ini menambah beban ekonomi yang harus ditanggung oleh Perangkat Desa. Minimnya kesejahteraan perangkat desa dalam jangka waktu yang lama berpengaruh langsung terhadap minimnya standar pelayanan maupun rendahnya semangat melayani masyarakat terhadap tugas administratif sebagai wakil pemerintahan yang diamanahkan. Pada umumnya mereka bekerja apa adanya (taken for granted) sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya (Muflich, et al, 2007).
Pertanyaanapakah memungkinkan dengan keberadaan sosial ekonominya yang tidak jelas diatur oleh pemerintah, serta tingkat kesejahteraan yang tidak mendapatkan jaminan dapat menjalankan tugas sesuai dengan harapan masyarakat maupun harapan pemerintah itu sendiri? Secara logika, akal sehat akan sulit menerima dengan kondisi yang dirasakan oleh Pemerintah Desa saat ini, mereka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik. dapat secara tegas dikatakan bahwa belum ada perhatian yang cukup setimpal terhadap melaksanakan otonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanaannya di tingkat desa yang kedudukannya langsung berhubungan dengan masyarakat.
Peran strategis Perangkat Desa ini harus ditunjang dengan mempertahankan sikap kerja yang profesional dan loyalitas kerja yang tinggi (Martono, 2011). Di tengah berbagai permasalahan yang menghadang, para Perangkat Desa dituntut untuk tetap dapat menunjukkan kinerja yang optimal ditengah kepungan berbagai permasalahan yang ada. Berbagai fakta dan kondisi telah menunjukkan bahwa kondisi Perangkat Desa berada pada pihak yang tidak diuntungkan selama kurun waktu yang sangat lama, tetapi hingga saat ini Pemerintahan Desa yang dijalankan oleh Perangkat Desa masih berjalan dengan berbagai keterbatasannya. Tugas pelayanan kepada masyarakat tetap dilakukan sesuai tugas pokok dan fungsi dari kewajiban sebagai Perangkat Desa. Tidak pernah ada aksi mogok kerja hingga merugikan kepentingan masyarakat sebagai wujud protes akan permasalahan yang ada. Dalam hal ini perlu untuk mengetahui landasan dan motif apa yang melatarbelakangi Perangkat Desa dalam menekuni profesi serta menjalankan tugas dan kewajibannya ditengah masalah kesejahteraan yang belum terpenuhi dan tidak jelasnya status kepegawaian.Menurut Mulyana (2007), seseorang melakukan tindakan lebih karena didasari oleh suatu motivasi, dimana motivasi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam teori motivasi yang diungkapkan oleh McClelland disebutkan bahwa motivasi merupakan serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan sesuatu yang invisible yang memberikan kekuatan (Rohmah, 2009).  

1 comment:

Blog Archive