SELALU
SAJA SANG PAMONG DESA
Pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
mengandung prinsip kesatuan yang dibentuk dalam rangka mengokohkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah panji Pemerintah Republik
dan bukan monarki (Susetio, 2007). Bentuk pemerintahan secara hierarki
mempunyai beban pertanggungjawaban yang sama terhadap amanat yang telah
digariskan oleh Undang-Undang Dasar 1945, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah otonom maupun Pemerintah Desa.
Sebelum disahkan dan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa, Keberadaan Desa telah diatur
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 serta Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005, yang di dalamnya terdapat subtansi tentang kedudukan dan kewenangan
Pemerintah Desa. Peraturan perundangundangan tersebut, salah satunya dapat
diartikan sebagai bentuk pengakuan pada Pemerintah Desa yang merupakan ujung
tombak pemerintahan Republik Indonesia.
Pemerintah Desa dalam Peraturan Pemerintah
No. 72/2005 yang mengatur khusus tentang Desa, menyebutkan bahwa unsur
penyelenggara Pemerintah Desa dipegang oleh Perangkat Desa dan dikepalai oleh
Kepala Desa.
Perangkat Desa secara tugas, kewenangan dan
tanggung jawabanya sangat jauh berbeda dengan Pegawai atau Pekerja, bahwa
perangkat desa identik dengan sebuatan
‘PAMONG DESA” sebuatan bagi perangkat Desa yang di wilayah Pulau Jawa adalah
orang yang menangi pemerintahan di Desa (wikipedia indonesia)
Sebutan pamong ini sudah sangat melekat
pada setiap perangkat desa, sebutan ini lah yang sulit dilepaskan dari baju
pengabdian perangkat desa yang ada diseluruh indonesia, dan apabila kita telaah
kondisi geografis, penyebaran penduduk serta luas wilayah kepulaun maka kondisi
sosial budaya masyarakatpun jelas sangat berbeda pada desa yang satu dengan
desa yang lain.
Pamong Desa merupakan sebuah pengabdian
mulia bagi seseorang mengingat selain melaksanakan dan menyelenggarakan roda
pemerintahan melalui tanggung jawab yang menjadi tufoksinya dibawah kementrian
dalam negri, pamong desa harus mampu dan bisa melaksanakan seusai ketentuan dan
aturan yang mengikatnya namun disisi lain PAMONG DESA pun diharuskan mampu dan
tanggap menjalankan pengabdiannya dalam melayani masyarakat di semua sisi
kehidupan masyarakat desa, perlu kita sadari dan pahami bersama memang walau
telah merdeka hampir 70 tahun sampai detik ini masih banyak rakyat indonesia
yang masih belum mampu dan bisa mengurus dirinya dendiri, sehingga pengabdian
seorang PAMONG DESA memang sangat penting dan berperan pada masyarakat Desa.
Peka atas kondisi yang ada pada masyarakat, serta tanggap dalam bertindak.
Serta selalu ada dan sedia ketika masyarakat membutuhkannya.
Tak ada batasan dan jam kerja mutlak yang
dimiliki seorang pamong desa, full 24 jam tak ada batasan siang pagi atau
malam, selalu siap ketika sebuah pengabdian memang harus dibuktikan. Sulit
memang kalau kita hayati namun akan sangat mudah manakala ketulusan dan
keiklasan telah menyatu dalam dirinya.
Berkaitan denga UU Nomor 32 Tahun 2004
kemudian muncul PP No. 72 Tahun 2005 Untuk dapat menjalankan amanatnya dengan
baik, Pemerintah Desa mutlak harus didukung penuh oleh sebuah perangkat sistem
baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun peraturan perundang-undangan
sebagai produk keluaran pemerintah yang mengatur penyelenggaraan Pemerintahan
bila dicermati, banyak terdapat
aturan-aturan yang menghambat Perangkat Desa dalam mengemban tugasnya. Hambatan
tersebut berbentuk diskriminasi peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Desa. Beberapa bentuk diskriminasi ini tercermin dalam klausul pasal
mengenai pembiayaan pemerintah desa yang bukan bersumber dari alokasi keuangan
negara melainkan dari pendapatan asli desa (PP 72/2005 pasal 68). Selain itu
tidak adanya pasal yang menjelaskan tentang kepastian status kepegawaian
perangkat desa. Keanehan lain muncul ketika pasal 103 PP No.72/2005 memberi
peluang Sekretaris Desa untuk diangkat menjadi Pegawai negeri Sipil (PNS),
tetapi tidak dengan Perangkat Desa yang lain.
Peraturan perundang-undangan yang
menimbulkan perspektif diskriminasi tersebut berpotensi untuk mengganjal
kemajuan Pemerintah Desa di dalam mengelola pemerintahannya. Status kepegawaian
yang tidak jelas misalnya, dapat mengakibatkan munculnya rentetan masalah.
Sebagai abdi negara, perangkat Desa menyandang atribut dan simbol-simbol yang
diberikan oleh negara, sekaligus menjalankan tugas-tugas negara. Sebagai abdi
masyarakat,
Perangkat Desa bertugas melayani masyarakat
24 jam, mulai pelayanan administratif hingga pelayanan sosial (mengurus
kematian, hajatan, orang sakit, konflik antarwarga, dan sebagainya). Birokrat
negara, baik pejabat administratif, Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan
sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern
(teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara
maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal. Status perangkat
Desa bukanlah PNS, tetapi sebagai aparat yang direkrut secara lokal-tradisional
(dari penduduk Desa setempat) dengan cara teknokratis (memperhatikan syarat-syara
Kepala Desa dipilih langsung oleh warga
Desa yang telak memiliki hak pilih, sedangkan Perangkat Desa lainnya (seperti
sekdes, kaur, kadus) merupakan hak preogratif Kepala Desa Terpilih
Memang Perangkat Desa memperoleh pembekalan
awal mengenai tupoksi dan tugas-tugas administrasi oleh pihak Kecamatan yang
dikoordinasi oleh Bupati atau Walikota setempat, tetapi setelah itu tidak
memperoleh diklat teknis. Terkadang sebagian Perangkat Desa memperoleh diklat
teknis (misalnya administrasi, perencanaan, pendataan, keuangan) jika ada
proyek diklat dari pemerintah yang datangnya tidak menentu.
Disebabkan miskinnya pembinaan, maka
kapasitas (pengetahuan, wawasan dan keterampilan) perangkat Desa sangat
terbatas. Padahal faktor pengetahuan dan pemahaman akan job
proccedure sangat mempengaruhi keberhasilan dari
kinerja (Kosasoh dan Budiani, 2007). Akibatnya tingkat kualitas pelayanan
Pemerintah Desa yang merupakan pelaksana langsung dan bersentuhan langsung
dengan
masyarakat menjadi minim. Kinerja perangkat
Desa yang sangat terbatas juga berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan
mereka karena ketidakjelasan sistem penggajian (remunerasi) yang didesain
pemerintah (Eko, 2006). Ketidakjelasan sistem penggajian ini melahirkan
berbagai anak masalah seperti kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat
desa Pasal 27 ayat (1) PP No. 72/2005
hanya disebutkan bahwa penghasilan dan
tunjangan tiap bulan bagi kepala desa dan
perangkat desa diberikan sesuai kemampuan keuangan desa. Padahal, sumber utama
penghasilan kepala desa dan perangkat desa sebagian besar diperoleh dari
pengelolaan tanah kas desa (tanah bengkok). Hal ini tentunya cukup merisaukan
bagi kepala desa dan perangkat desa sebab akan timbul kesenjangan, Persoalan
mengenai kedudukan keuangan kepala desa dan perangkat desa sebagai implikasi dari lahirnya Peraturan
Daerah Nomor 14 Tahun 2006 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat
Desa. Peraturan ini dianggap telah merugikan Kepala Desa dan Perangkat Desa
terkait dengan sistem penggajian yang diterapkan Pemerintah
Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow
meletakkan kebutuhan fisiologis di urutan pertama tingkat kebutuhan yang
dibutuhkan oleh seseorang dan mengasumsikan bahwa orang akan berusaha memenuhi
kebutuhan secara fisiologis terlebih dahulu. Pemenuhan kebutuhan bersifat fisik
ini sangat berkaitan erat dengan pemberian kompensasi yang sesuai dan wajar
kepada pekerja untuk dapat memenuhi kesejahteraan hidup (Justicia, 2001).
Terpenuhinya kesejahteraan
Beban biaya hidup yang dirasakan oleh
Perangkat Desa khususnya di daerah Jawa harus ditambah dengan tingginya biaya
sosial yang juga harus ditanggung. Masyarakat Jawa yang kental akan sistem
kolektivisme mempunyai tradisi nyumbang disetiap
acara sosial yang diadakan di lingkungan masyarakatDesa, seperti acara
pernikahan, acara kematian, sampai dengan acara khitanan
Tradisi nyumbang
merupakan wujud solidaritas seorang anggota masyarakat terhadap
saudara, tetangga, rekan kerja, atau anggota masyarakat lainnya yang sedang
memiliki hajatan (perayaan). Bentuk dari nyumbang
di sini dapat berupa materi (uang atau barang kebutuhan pokok)
dan nonmateri (tenaga dan pikiran). Biasanya disesuaikan dengan jenis undangan
dan hajatan yang sedang berlangsung (Prasetyo, 2007). Konsekuensi bagi
Perangkat Desa sebagai Pamong Desa yang sering diundang dalam acara
kemasyarakatan adalah memperpanjang daftar pengeluaran bulanan yang harus
disisihkan dari gaji. Tentu saja hal ini menambah beban ekonomi yang harus
ditanggung oleh Perangkat Desa. Minimnya kesejahteraan perangkat desa dalam
jangka waktu yang lama berpengaruh langsung terhadap minimnya standar pelayanan
maupun rendahnya semangat melayani masyarakat terhadap tugas administratif
sebagai wakil pemerintahan yang diamanahkan. Pada umumnya mereka bekerja apa
adanya (taken for granted)
sesuai dengan kebiasaan perangkat sebelumnya (Muflich, et al, 2007).
Pertanyaanapakah memungkinkan dengan
keberadaan sosial ekonominya yang tidak jelas diatur oleh pemerintah, serta
tingkat kesejahteraan yang tidak mendapatkan jaminan dapat menjalankan tugas
sesuai dengan harapan masyarakat maupun harapan pemerintah itu sendiri? Secara logika,
akal sehat akan sulit menerima dengan kondisi yang dirasakan oleh Pemerintah
Desa saat ini, mereka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik. dapat secara
tegas dikatakan bahwa belum ada perhatian yang cukup setimpal terhadap
melaksanakan otonomi daerah secara berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya
meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
pelayanan kepada masyarakat maka titik berat pelaksanaannya di tingkat desa
yang kedudukannya langsung berhubungan dengan masyarakat.
Peran strategis Perangkat Desa ini harus
ditunjang dengan mempertahankan sikap kerja yang profesional dan loyalitas
kerja yang tinggi (Martono, 2011). Di tengah berbagai permasalahan yang
menghadang, para Perangkat Desa dituntut untuk tetap dapat menunjukkan kinerja
yang optimal ditengah kepungan berbagai permasalahan yang ada. Berbagai fakta
dan kondisi telah menunjukkan bahwa kondisi Perangkat Desa berada pada pihak
yang tidak diuntungkan selama kurun waktu yang sangat lama, tetapi hingga saat
ini Pemerintahan Desa yang dijalankan oleh Perangkat Desa masih berjalan dengan
berbagai keterbatasannya. Tugas pelayanan kepada masyarakat tetap dilakukan
sesuai tugas pokok dan fungsi dari kewajiban sebagai Perangkat Desa. Tidak
pernah ada aksi mogok kerja hingga merugikan kepentingan masyarakat sebagai
wujud protes akan permasalahan yang ada. Dalam hal ini perlu untuk mengetahui
landasan dan motif apa yang melatarbelakangi Perangkat Desa dalam menekuni
profesi serta menjalankan tugas dan kewajibannya ditengah masalah kesejahteraan
yang belum terpenuhi dan tidak jelasnya status kepegawaian.Menurut Mulyana
(2007), seseorang melakukan tindakan lebih karena didasari oleh suatu motivasi,
dimana motivasi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam teori
motivasi yang diungkapkan oleh McClelland disebutkan bahwa motivasi merupakan
serangkaian sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi individu untuk mencapai hal
yang spesifik sesuai dengan tujuan individu. Sikap dan nilai tersebut merupakan
sesuatu yang invisible yang
memberikan kekuatan (Rohmah, 2009).
Sip
ReplyDelete